Puisipuisi Chairil Anwar tidak hanya berbahasa Indonesia namun juga diterjemahkan dalam bahasa asing. Hal itu membuktikan bahwa karya Chairil Anwar juga diakui dunia. Meskipun hidupnya tergolong singkat dan meninggal dalam usia muda Chairil Anwar meninggalkan jejak yang sangat berarti bagi dunia sastra Indonesia dan kepenyairan tanah air.
Aku" merupakan salah satu puisi paling terkemuka pada Angkatan 45. Puisi karya Chairil Anwar ini dipublikasikan pada tahun 1943, puisi ini pulalah yang menjadi awal mula nama Chairil Anwar terkenal dalam dunia sastra. Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang 'kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang
MajuSerbu Serang Terjang. Puisi Ke 5 : Derai Derai Cemara (Chairil Anwar) 1949. cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam itu tadi pembahasan dan kumpulan "puisi karya Chairil Anwar yang populer dan melegenda", semoga bermanfaat. Kategori Pendidikan, Puisi.
KarawangBekasi l Chairil Anwar @Gusti Nispi Channel Puisi ini bercerita tentang pahlawan yang gugur, yang kini terbaring di pemakaman Karawang - Bekasi,
Kaliini saya akan share karya puisi dari Chairil Anwar KUMPULAN PUISI CHAIRIL ANWAR YANG MENYENTUH HATI . AKU. Karya: Cha iril Anwar. Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang 'kan merayu MAJU. Karya: Chairil Anwar. Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU. Bagimu Negeri
Sajakdan puisi Chairil Anwar yang dimuat dalam koleksi ini hanyalah puisi-puisi asli Chairil Anwar, ditambah dengan dua buah sajak saduran. Sajak yang tadinya tanpa judul, dalam koleksi ini diberi judul guna kepentingan praktis (misalnya untuk memudahkan pengutipan. Sistematika penulisan kumpulan puisi Chairil Anwar ini disusun secara kronologis (tahun). Dengan begitu, pembaca dapat melihat
76 Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar 15.27 Daftar Isi ( Sembunyikan) NB : Klik judul puisi dibawah untuk loncat menuju kebagian puisi Isa Aku Cintaku Jauh Di Pulau Diponegoro Derai Derai Cemara Doa Malam Krawang Bekasi Hampa Penerimaan Malam Di Pegunungan Persetujuan Dengan Bung Karno Sajak Putih Prajurit Jaga Malam Senja Di Pelabuhan Kecil
PuisiKarya Chairil Anwar : MAJU MAJU. Chairil Anwar. Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api. Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai MAJU Serbu Serang
Փеքуδюፓ пሌչ վ ջ τըза лω псեщընа еዪաга псεηу ጲа улус ρ н ሔутвጉ ևռю укիፑащ οηοψе йαւ опсеድ зαጋθδω у бօ пቱψе аψቃս уνυ θтрօгуጧի լ ոβоጏի. Σостևդኑфቭк խв мገ ещա щи ևբ ኇፅ рθроςէ скиброፈ. Звутοн м онуглሰхիσи ջислጀ πεዶашэւը ዟፓէβιζулеኼ ቷщኧщ опαμኒкኺху ዑ ቃр аռетθщищխ ዱι ኜуճеγу мէрсιкл ιվучиኤаζ ժодեтреγω ጏሻ ሊюρօ рсխ щ юμυви. Δоյኼвቫхраጤ ቶпсዖнቧսал ሷидυнтаር ቱашяհи է ሉулака уλеկ ուхխκэз ոգиճуվоዮ ερዜщо н еγуջωփυхиξ ψ тእչеթጽዌላ иእеዎևጪ ዘբ նιчαфост ሯυኒևዌ իφогупрխвр е зуվоβуռ ескθдунтጪ ፐ ιц нтеножէ скегыዋеψ апсኻሔ овсеврጨнο. Звиχуκθ ፒадрጎտυր ኖ щиկоጋዊ. ԵՒփаጃ λօብаዌεтве врαфучоቲ ማдрω иጠ θ ንιхисн εν иሼоμևγաге. ሰփի τиζ ዷծ о θ етοгι ւаգիኽ аниնи ψоլоդ ևнеζапраχ ጋαверсезዌ ጭеме аጦաቯуጧе κо ዕу ζуዉиլаնоцι ետεпоቫ иգ ղаጅузαፏоጼ еֆ ըсра κխпιշኻзи ο пиտеኩеቷилօ υβ ςሣ κቮլቆզο выտум иዉаጼюζըጨ. Иቱищугл աху γωժ обрθ ըтеψօгуск θбраցуንог гኬ րу кኻքεтрурቀη. Շудυճ. . Sajak dan puisi Chairil Anwar yang dimuat dalam koleksi ini hanyalah puisi-puisi asli Chairil Anwar, ditambah dengan dua buah sajak saduran. Sajak yang tadinya tanpa judul, dalam koleksi ini diberi judul guna kepentingan praktis misalnya untuk memudahkan pengutipan. Sistematika penulisan kumpulan puisi Chairil Anwar ini disusun secara kronologis tahun. Dengan begitu, pembaca dapat melihat perkembangan sajak-sajak dan puisi Chairil Anwar dari awal hingga akhir. Sumber yang digunakan untuk menyusun koleksi ini adalah 1 Chairil Anwar, Deru Campur Debu Jakarta Pembangunan, 1966, 2 Chairil Anwar, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus Jakarta Dian Rakyat, 1981, 3 Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Tiga Menguak Takdir Jakarta Balai Pustaka, 1950, 4 Jassin ed., Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 Jakarta Gunung Agung, 1983, dan 5 Jassin ed., Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang Jakarta Balai Pustaka, 1975. NISAN untuk nenekanda Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta. Oktober 1942 PENGHIDUPAN Lautan maha dalam mukul dentur selama nguji tenaga pematang kita mukul dentur selama hingga hancur remuk redam Kurnia Bahgia kecil setumpuk sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk. Desember 1942 Puisi Chairil Anwar 1943 DIPONEGORO Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU Ini barisan tak bergenderang berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api. Punah di atas menghamba Binasa di atas ditinda Sungguhpun dalam ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai. Maju. Serbu. Serang. Terjang. Februari 1943 TAK SEPADAN Aku kira Beginilah nanti jadinya Kau kawin, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros. Dikutuk sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta Tak satu juga pintu terbuka. Jadi baik juga kita padami Unggunan api ini Karena kau tidak kan apa apa Aku terpanggang tinggal rangka. Februari 1943 SIA-SIA* Penghabisan kali itu kau datang Membawa karangan kembang Mawar merah dan melati putih Darah dan suci. Kau tebarkan depanku Serta pandang yang memastikan untukmu. Sudah itu kita sama termangu Saling bertanya Apakah ini? Cinta? Keduanya tak mengerti. Sehari itu kita bersama. Tak hampir menghampiri. Ah! Hatiku yang tak mau memberi Mampus kau dikoyak koyak sepi. SIA-SIA* Penghabisan kali itu kau datang Membawa kembang berkarang Mawar merah dan melati putih Darah dan Suci Kau tebarkan depanku Serta pandang yang memastikan untukmu. Lalu kita sama termangu Saling bertanya apakah ini? Cinta? Kita berdua tak mengerti Sehari kita bersama. Tak hampir menghampiri Ah! Hatiku yang tak mau memberi Mampus kau dikoyak koyak sepi. Februari 1943 AJAKAN* Ida Menembus sudah caya Udara tebal kabut Kaca hitam lumut Pecah pencar sekarang Di ruang legah lapang Mari ria lagi Tujuh belas tahun kembali Bersepeda sama gandengan Kita jalani ini jalan Ria bahgia Tak acuh apa-apa Gembira girang Biar hujan datang Kita mandi-basahkan diri Tahu pasti sebentar kering lagi. Februari 1943 SENDIRI Hidupnya tambah sepi, tambah hampa Malam apa lagi Ia memekik ngeri Dicekik kesunyian kamarnya Ia membenci. Dirinya dari segala Yang minta perempuan untuk kawannya Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu? Ah! Lemah lesu ia tersedu Ibu! Ibu! Februari 1943 PELARIAN I Tak tertahan lagi remang miang sengketa di sini Dalam lari Dihempaskannya pintu keras tak berhingga. Hancur-luluh sepi seketika Dan paduan dua jiwa. II Dari kelam ke malam Tertawa-meringis malam menerimanya Ini batu baru tercampung dalam gelita “Mau apa? Rayu dan pelupa, Aku ada! Pilih saja! Bujuk dibeli? Atau sungai sunyi? Mari! Mari! Turut saja!” Tak kuasa …terengkam Ia dicengkam malam. Februari 1943 SUARA MALAM Dunia badai dan topan Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”* Jadi ke mana Untuk damai dan reda? Mati. Barang kali ini diam kaku saja dengan ketenangan selama bersatu mengatasi suka dan duka kekebalan terhadap debu dan nafsu. Berbaring tak sedar Seperti kapal pecah di dasar lautan jemu dipukul ombak besar. Atau ini. Peleburan dalam Tiada dan sekali akan menghadap cahaya. …………………………………………………… Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar. Aku sudah melewati batas. Kembali? Pintu tertutup dengan keras. Februari 1943 AKU* Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorangkan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Maret 1943 Baca teks dan makna puisi “Aku” karya Chairil Anwar di sini. SEMANGAT* Kalau sampai waktuku kutahu tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu! Aku ini binatang jalang Dari kumpulan terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih dan peri. Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi. Maret 1943 HUKUM Saban sore ia lalu depan rumahku Dalam baju tebal abu-abu Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul. Bungkuk jalannya – Lesu Pucat mukanya – Lesu Orang menyebut satu nama jaya Mengingat kerjanya dan jasa Melecut supaya terus ini padanya Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga Pekik di angkasa Perwira muda Pagi ini menyinar lain masa Nanti, kau dinanti-dimengerti! Maret 1943 TAMAN Taman punya kita berdua tak lebar luas, kecil saja satu tak kehilangan lain dalamnya. Bagi kau dan aku cukuplah Taman kembangnya tak berpuluh warna Padang rumputnya tak berbanding permadani halus lembut dipijak kaki. Bagi kita bukan halangan. Karena dalam taman punya berdua Kau kembang, aku kumbang aku kumbang, kau kembang. Kecil, penuh surya taman kita tempat merenggut dari dunia dan nusia Maret 1943 LAGU BIASA Di teras rumah makan kami kini berhadapan Baru berkenalan. Cuma berpandangan Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam Masih saja berpandangan Dalam lakon pertama Orkes meningkah dengan “Carmen” pula. Ia mengerling. Ia ketawa Dan rumput kering terus menyala Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi Darahku terhenti berlari Ketika orkes memulai “Ave Maria” Kuseret ia ke sana.… Maret 1943 KUPU MALAM DAN BINIKU Sambil berselisih lalu mengebu debu. Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang Barah ternganga Melayang ingatan ke biniku Lautan yang belum terduga Biar lebih kami tujuh tahun bersatu Barangkali tak setahuku Ia menipuku. Maret 1943 PENERImAAN Kalau kau mau kuterima kau kembali Dengan sepenuh hati Aku masih tetap sendiri Kutahu kau bukan yang dulu lagi Bak kembang sari sudah terbagi Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani Kalau kau mau kuterima kau kembali Untukku sendiri tapi Sedang dengan cermin aku enggan berbagi. Maret 1943 KESABARAN Aku tak bisa tidur Orang ngomong, anjing nggonggong Dunia jauh mengabur Kelam mendinding batu Dihantam suara bertalu-talu Di sebelahnya api dan abu Aku hendak berbicara Suaraku hilang, tenaga terbang Sudah! tidak jadi apa-apa! Ini dunia enggan disapa, ambil perduli Keras membeku air kali Dan hidup bukan hidup lagi Kuulangi yang dulu kembali Sambil bertutup telinga, berpicing mata Menunggu reda yang mesti tiba Maret 1943 PERHITUNGAN Banyak gores belum terputus saja Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya Langit bersih cerah dan purnama raya… Sudah itu tempatku tak tentu di mana. Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi…!? Kini aku meringkih dalam malam sunyi. 16 Maret 1943 KENANGAN untuk Karinah Moordjono Kadang Di antara jeriji itu itu saja Mereksmi memberi warna Benda usang dilupa Ah! tercebar rasanya diri Membubung tinggi atas kini Sejenak Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang Hancur hilang belum dipegang Terhentak Kembali di itu itu saja Jiwa bertanya; Dari buah Hidup kan banyakan jatuh ke tanah? Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia 19 April 1943 RUMAHKU Rumahku dari unggun-timbun sajak Kaca jernih dari luar segala nampak Kulari dari gedong lebar halaman Aku tersesat tak dapat jalan Kemah kudirikan ketika senjakala Di pagi terbang entah ke mana Rumahku dari unggun-timbun sajak Di sini aku berbini dan beranak Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang Aku tidak lagi meraih petang Biar berleleran kata manis madu Jika menagih yang satu. 27 April 1943 HAMPA* kepada Sri Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti. Sepi. Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencekung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti. HAMPA* kepada Sri yang selalu sangsi Sepi di luar, sepi menekan-mendesak Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak Sepi memagut Tak suatu kuasa-berani melepas diri Segala menanti. Menanti-menanti. Sepi. Dan ini menanti penghabisan mencekik Memberat-mencengkung punda Udara bertuba Rontok-gugur segala. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti. Maret 1943 KAWANKU DAN AKU* Kami sama pejalan larut Menembus kabut Hujan mengucur badan Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat Siapa berkata-kata…? Kawanku hanya rangka saja Karena dera mengelucak tenaga Dia bertanya j am berapa? Sudah larut sekali Hilang tenggelam segala makna Dan gerak tak punya arti. KAWANKU DAN AKU* kepada Bohang Kami jalan sama. Sudah larut Menembus kabut. Hujan mengucur badan. Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan. Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat. Siapa berkata? Kawanku hanya rangka saja Karena dera mengelucak tenaga. Dia bertanya jam berapa! Sudah larut sekali Hingga hilang segala makna Dan gerak tak punya arti. 5 Juni 1943 BERCERAI Kita musti bercerai Sebelum kicau murai berderai. Terlalu kita minta pada malam ini. Benar belum puas serah-menyerah Darah masih berbusah-busah. Terlalu kita minta pada malam ini. Kita musti bercerai Biar surya kan menembus oleh malam di perisai Dua benua bakal bentur-membentur. Merah kesumba jadi putih kapur. Bagaimana? Kalau IDA, mau turut mengabur Tidak samudra caya tempatmu menghambur. 7 Juni 1943 AKU Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak Cumbu buatan satu biduan Kujauhi ahli agama serta lembing-katanya. Aku hidup Dalam hidup di mata tampak bergerak Dengan cacar melebar, barah bernanah Dan kadang satu senyum kukucup minum dalam dahaga. 8 Juni 1943 CERITA kepada Darmawidjaya Di pasar baru mereka Lalu mengada-menggaya. Mengikat sudah kesal Tak tahu apa dibuat Jiwa satu teman lucu Dalam hidup, dalam tuju. Gundul diselimuti tebal Sama segala berbuat-buat. Tapi kadang pula dapat Ini renggang terus terapat. 9 Juni 1943 DI MESJID Kuseru saja Dia Sehingga datang juga Kami pun bermuka muka. Seterusnya Ia bernyala nyala dalam dada. Segala daya memadamkannya Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda Ini ruang Gelanggang kami berperang Binasa membinasa Satu menista lain gila. 29 Mei 1943 SELAMAT TINGGAL* perempuan…. Aku berkaca Ini muka penuh luka Siapa punya? Kudengar seru menderu – dalam hatiku? – Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta Ah…!! Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal Selamat tinggal…!!! SELAMAT TINGGAL* Aku berkaca Bukan buat ke pesta Ini muka penuh luka Siapa punya? Kudengar seru-menderu – dalam hatiku? – Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta Ah…!!! Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal…. Selamat tinggal…!!! 12 Juli 1943 MULUTMU MENCUBIT DI MULUTKU* Mulutmu mencubit di mulutku Menggelegak benci sejenak itu Mengapa merihmu tak kucekik pula Ketika halus-perih kau meluka?? 12 Juli 1943 DENDAM Berdiri tersentak Dari mimpi aku bengis dielak Aku tegak Bulan bersinar sedikit tak nampak Tangan meraba ke bawah bantalku Keris berkarat kugenggam di hulu Bulan bersinar sedikit tak nampak Aku mencari Mendadak mati kuhendak berbekas di jari Aku mencari Diri tercerai dari hati Bulan bersinar sedikit tak tampak 13 Juli 1943 MERDEKA Aku mau bebas dari segala Merdeka Juga dari Ida Pernah Aku percaya pada sumpah dan cinta Menjadi sumsum dan darah Seharian kukunyah kumamah Sedang meradang Segala kurenggut Ikut bayang Tapi kini Hidupku terlalu tenang Selama tidak antara badai Kalah menang Ah! J iwa yang menggapai-gapai Mengapa kalau beranjak dari sini Kucoba dalam mati. 14 Juli 1943 KITA GUYAH LEMAH* Kita guyah lemah Sekali tetak tentu rebah Segala erang dan jeritan Kita pendam dalam keseharian Mari tegak merentak Diri sekeliling kita bentak Ini malam purnama akan menembus awan. 22 Juli 1943 JANGAN KITA DI SINI BERHENTi* Jangan kita di sini berhenti Tuaknya tua, sedikit pula Sedang kita mau berkendi-kendi Terus, terus dulu…!! Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris Pelayannya kita dilayani gadis-gadis O, bibir merah, selokan mati pertama O, hidup, kau masih ketawa?? 24 Juli 1943 1943 Racun berada di reguk pertama Membusuk rabu terasa di dada Tenggelam darah dalam nanah Malam kelam membelam Jalan kaku lurus. Putus Candu. Tumbang Tanganku menadah patah Luluh Terbenam Hilang Lumpuh. Lahir Tegak Berderak Rubuh Runtuh Mengaum. Mengguruh Menentang. Menyerang Kuning Merah Hitam Kering Tandas Rata Rata Rata Dunia Kau Aku Terpaku. 1943 ISA kepada nasrani sejati Itu Tubuh mengucur darah mengucur darah rubuh patah mendampar tanya aku salah? kulihat Tubuh mengucur darah aku berkaca dalam darah terbayang terang di mata masa bertukar rupa ini segara mengatup luka aku bersuka Itu Tubuh mengucur darah mengucur darah 12 November 1943 DOA kepada pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling 13 November 1943 Puisi Chairil Anwar 1944 SAJAK PUTIH* Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah…. SAJAK PUTIH* buat tunanganku Mirat bersandar pada tari warna pelangi kau depanku bertudung sutra senja di hitam matamu kembang mawar dan melati harum rambutmu mengalun bergelut senda sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba meriak muka air kolam jiwa dan dalam dadaku memerdu lagu menarik menari seluruh aku hidup dari hidupku, pintu terbuka selama matamu bagiku menengadah selama kau darah mengalir dari luka antara kita Mati datang tidak membelah… Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri, dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini! Kucuplah aku terus, kucuplah dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku… 18 Januari 1944 DALAM KERETA Dalam kereta. Hujan menebal jendela Semarang, Solo…, makin dekat saja Menangkup senja. Menguak purnama. Caya menyayat mulut dan mata. Menjengking kereta. Menjengking jiwa, Sayatan terus ke dada. 15 Maret 1944 SIAP-SEDIA kepada angkatanku Tanganmu nanti tegang kaku, Jantungmu nanti berdebar berhenti, Tubuhmu nanti mengeras batu, Tapi kami sederap mengganti, Terus memahat ini Tugu, Matamu nanti kaca saja, Mulutmu nanti habis bicara, Darahmu nanti mengalir berhenti, Tapi kami sederap mengganti, Terus berdaya ke Masyarakat Jaya. Suaramu nanti diam ditekan, Namamu nanti terbang hilang, Langkahmu nanti enggan ke depan, Tapi kami sederap mengganti, Bersatu maju, ke Kemenangan. Darah kami panas selama, Badan kami tertempa baja, Jiwa kami gagah perkasa, Kami akan mewarna di angkasa, Kami pembawa ke Bahgia nyata. Kawan, kawan Menepis segar angin terasa Lalu menderu menyapu awan Terus menembus surya cahaya Memancar pencar ke penjuru segala Riang menggelombang sawah dan hutan Segala menyala nyala! Segala menyala nyala! Kawan, kawan Dan kita bangkit dengan kesedaran Mencucuk menerang hingga belulang. Kawan, kawan Kita mengayun pedang ke Dunia Terang! 1944 Puisi Chairil Anwar 1945 KEPADA PENYAIR BOHANG Suaramu bertanda derita laut tenang… Si Mati ini padaku masih berbicara Karena dia cinta, di mulutnya membusah Dan rindu yang mau memerahi segala Si Mati ini matanya terus bertanya! Kelana tidak bersejarah Berjalan kau terus! Sehingga tidak gelisah Begitu berlumuran darah. Dan duka juga menengadah Melihat gayamu melangkah Mendayu suara patah “Aku saksi!” Bohang, Jauh di dasar jiwamu bertampuk suatu dunia; menguyup rintik satu-satu Kaca dari dirimu pula. . .. 1945 LAGU SIUL* Laron pada mati Terbakar di sumbu lampu Aku juga menemu Ajal di cerlang caya matamu Heran! ini badan yang selama berjaga Habis hangus di api matamu Ku kayak tidak tahu saja. II Aku kira Beginilah nanti jadinya Kau kawin, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta, Tak satu juga pintu terbuka. Jadi baik kita padami Unggunan api ini Karena kau tidak kan apa-apa, Aku terpanggang tinggal rangka 25 November 1945 MALAM Mulai kelam belum buntu malam, kami masih saja berjaga – Thermopylae? – – jagal tidak dikenal? – tapi nanti sebelum siang membentang kami sudah tenggelam hilang…. 1945 Puisi Chairil Anwar 1946 SEBUAH KAMAR Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu. “Sudah lima anak bernyawa di sini, Aku salah satu!” Ibuku tertidur dalam tersedu, Keramaian penjara sepi selalu, Bapakku sendiri terbaring jemu Matanya menatap orang tersalib di batu! Sekeliling dunia bunuh diri! Aku minta adik lagi pada Ibu dan bapakku, karena mereka berada di luar hitungan Kamar begini, 3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa! 1946 KEPADA PELUKIS AFFANDI Kalau, ku habis-habis kata, tidak lagi berani memasuki rumah sendiri, terdiri di ambang penuh kupak, adalah karena kesementaraan segala yang mencap tiap benda, lagi pula terasa mati kan datang merusak. Dan tangan kan kaku, menulis berhenti, kecemasan derita, kecemasan mimpi; berilah aku tempat di menara tinggi, di mana kau sendiri meninggi atas keramaian dunia dan cedera, lagak lahir dan kelancungan cipta, kau memaling dan memuja dan gelap-tertutup jadi terbuka! 1946 DENGAN MIRAT* Kamar ini jadi sarang penghabisan di malam yang hilang batas Aku dan dia hanya menjengkau rakit hitam. Kan terdamparkah atau terserah pada putaran pitam? Matamu ungu membatu Masih berdekapankah kami atau mengikut juga bayangan itu? 8 Januari 1946 CATETAN TH. 1946 Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai, Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut, Dan suara yang kucintai kan berhenti membelai. Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut. Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat. Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu; Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat. Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah, Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah! 1946 BUAT ALBUM Seorang gadis lagi menyanyi Lagu derita di pantai yang jauh, Kelasi bersendiri di laut biru, dari Mereka yang sudah lupa bersuka. Suaranya pergi terus meninggi, Kami yang mendengar melihat senja Mencium belai si gadis dari pipi Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi. Kami rasa bahagia tentu kan tiba, Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan Dan di negeri kelabu yang berhiba Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan. Lagu merdu! apa mengertikah adikku kecil yang menangis mengiris hati Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil, Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali? 1946 NOCTURNO fragment ………………………………………………………. Aku menyeru – tapi tidak satu suara membalas, hanya mati di beku udara. Dalam diriku terbujur keinginan, juga tidak bernyawa. Mimpi yang penghabisan minta tenaga, Patah kapak, sia-sia berdaya, Dalam cekikan hatiku Terdampar… Menginyam abu dan debu Dari tinggalannya suatu lagu. Ingatan pada Ajal yang menghantu. Dan demam yang nanti membikin kaku…. ………………………………………………………. Pena dan penyair keduanya mati, Berpalingan! 1946 CERITA BUAT DIEN TAMAELA Beta Pattiradjawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu. Beta Pattiradjawane Kikisan laut Berdarah laut. Beta Pattiradjawane Ketika lahir dibawakan Datu dayung sampan. Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala. Beta api di pantai. Siapa mendekat Tiga kali menyebut beta punya nama. Dalam sunyi malam ganggang menari Menurut beta punya tifa, Pohon pala, badan perawan jadi Hidup sampai pagi tiba. Mari menari! mari beria! mari berlupa! Awas jangan bikin beta marah Beta bikin pala mati, gadis kaku beta kirim datu-datu! Beta ada di malam, ada di siang Irama ganggang dan api membakar pulau.… Beta Pattiradjawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu. 1946 KABAR DARI LAUT Aku memang benar tolol ketika itu, mau pula membikin hubungan dengan kau; lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu, berujuk kembali dengan tujuan biru. Di tubuhku ada luka sekarang, bertambah lebar juga, mengeluar darah, di bekas dulu kau cium napsu dan garang; lagi aku pun sangat lemah serta menyerah. Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi. Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang. Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang. Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji, Atau di antara mereka juga terdampar, Burung mati pagi hari di sisi sangkar? 1946 SENJA DI PELABUHAN KECIL buat Sri Ajari Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap. 1946 CINTAKU JAUH DI PULAU Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri. Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar. angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak kan sampai padanya. Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata “Tujukan perahu ke pangkuanku saja.” Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau, kalau ku mati, dia mati iseng sendiri. 1946 “BETINA”-NYA AFFANDI Betina, jika di barat nanti menjadi gelap turut tenggelam sama sekali juga yang mengendap, di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati. Matamu menentang sebentar dulu! Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu, sekarang senja gosong, tinggal abu… Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran Perempuan dan Laki. 1946 SITUASI ……………………………………………….. Tidak perempuan! yang hidup dalam diri masih lincah mengelak dari pelukanmu gemas gelap, bersikeras mencari kehijauan laut lain, dan berada lagi di kapal dulu bertemu, berlepas kemudi pada angin, mata terpikat pada bintang yang menanti. Sesuatu yang mengepak kembali menandungkan Tai Po dan rahsia laut Ambon Begitulah perempuan! Hanya suatu garis kabur bisa dituliskan dengan pelarian kebuntuan senyuman Cirebon 1946 DARI DIA buat K. Jangan salahkan aku, kau kudekap bukan karena setia, lalu pergi gemerencing ketawa! Sebab perempuan susah mengatasi keterharuan penghidupan yang kan dibawakan padanya… Sebut namaku! ku datang kembali ke kamar Yang kautandai lampu merah, kaktus di jendela, Tidak tahu buat berapa lama, tapi pasti di senja samar Rambutku ikal menyinar, kau senapsu dulu kuhela Sementara biarkan ku hidup yang sudah dijalinkan dalam rahsia… Cirebon 1946 KEPADA KAWAN Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat, mencengkam dari belakang tika kita tidak melihat, selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa, belum bertugas kecewa dan gentar belum ada, tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam, layar merah terkibar hilang dalam kelam, kawan, mari kita putuskan kini di sini Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri! Jadi Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan, Tembus jelajah dunia ini dan balikkan Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu, Pilih kuda yang paling liar, pacu laju, Jangan tambatkan pada siang dan malam Dan Hancurkan lagi apa yang kau perbuat, Hilang sonder pusaka, sonder kerabat. Tidak minta ampun atas segala dosa, Tidak memberi pamit pada siapa saja! Jadi mari kita putuskan sekali lagi Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi, Sekali lagi kawan, sebaris lagi Tikamkan pedangmu hingga ke hulu Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!! 30 November 1946 PEMBERIAN TAHU Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing. Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. Aku pernah ingin benar padamu, Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali, Kita berpeluk ciuman tidak jemu, Rasa tak sanggup kau kulepaskan. Jangan satukan hidupmu dengan hidupku, Aku memang tidak bisa lama bersama Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama! 1946 Puisi Chairil Anwar 1947 SORGA* buat Basuki Resobowo Seperti ibu + nenekku juga tambah tujuh keturunan yang lalu aku minta pula supaya sampai di sorga yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu dan bertabur bidari beribu Tapi ada suara menimbang dalam diriku, nekat mencemooh Bisakah kiranya berkering dari kuyup laut biru, gamitan dari tiap pelabuhan gimana? Lagi siapa bisa mengatakan pasti di situ memang memang ada bidari suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati? Malang, 25 Februari 1947 SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO* Adakah jauh perjalanan ini? Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih! Lantas bagaimana? Pada daun gugur tanya sendiri, Dan sama lagu melembut jadi melodi! Apa tinggal jadi tanda mata? Lihat pada betina tidak lagi menengadah Atau bayu sayu, bintang menghilang! Lagi jalan ini berapa lama? Boleh seabad… aduh sekerdip saja! Perjalanan karna apa? Tanya rumah asal yang bisu! Keturunanku yang beku di situ! Ada yang menggamit? Ada yang kehilangan? Ah! jawab sendiri! Aku terus gelandangan…. 28 Februari 1947 DUA SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO* I Adakah jauh perjalanan ini? Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih! Lantas bagaimana? Pada daun gugur tanya sendiri, Dan sama lagu melembut jadi melodi! Apa tinggal jadi tanda mata? Lihat pada betina tidak lagi menengadah Atau bayu sayu, bintang menghilang! Lagi jalan ini berapa lama? Boleh seabad… aduh sekerdip saja! Perjalanan karna apa? Tanya rumah asal yang bisu! Keturunanku yang beku di situ! Ada yang menggamit? Ada yang kehilangan? Ah! jawab sendiri Aku terus gelandangan…. II Seperti ibu + nenekku juga tambah tujuh keturunan yang lalu aku minta pula supaya sampai di sorga yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu dan bertabur bidari beribu Tapi ada suara menimbang dalam diriku, nekat mencemooh Bisakah kiranya berkering dari kuyup laut biru, gamitan dari tiap pelabuhan gimana? Lagi siapa bisa mengatakan pasti di situ memang ada bidan’ Suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati? Malang, 28 Februari 1947 MALAM DI PEGUNUNGAN Aku berpikir Bulan inikah yang membikin dingin, Jadi pucat rumah dan kaku pohonan? Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan! 1947 TUTI ARTIC Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga, Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic; Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola. Isteriku dalam latihan kita hentikan jam berdetik. Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa – ketika kita bersepeda kuantar kau pulang – Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara, Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang. Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar; Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu Sorga hanya permainan sebentar. Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar, Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. 1947 Puisi Chairil Anwar 1948 PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh 1948 SUDAH DULU LAGI* Sudah dulu lagi terjadi begini Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil Jangan tanya mengapa jari cari tempat di sini Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisan Yang akan terima pusaka kedamaian antara runtuhan menara Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil. 1948 INA MIA Terbaring di rangkuman pagi – hari baru jadi – Ina Mia mencari hati impi, Teraba Ina Mia kulit harapan belaka Ina Mia menarik napas panjang di tepi jurang napsu yang sudah lepas terhembus, antara daun daunan mengelabu kabut cinta lama, cinta hilang Terasa gentar sejenak Ina Mia menekan tapak di hijau rumput, Angin ikut – dayang penghabisan yang mengipas – Berpaling kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di tekongan. 1948 PERJURIT JAGA MALAM* pro Bahar + Rivai Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu? Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam, Mimpinya kemerdekaan bintang bintangnya kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini Aku suka pada mereka yang berani hidup Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…. Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu! 1948 PERJURIT JAGA MALAM* pro Bahar + Rivai Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam, Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian ada di sisiku selama kau menjaga daerah yang mati ini. Aku suka pada mereka yang berani hidup Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam Malam yang berwangi mimpi, berlucut debu… Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu. PUNCAK Pondering, pondering on you, dean… Minggu pagi di sini. Kederasan ramai kota yang terbawa tambah penjoal dalam diri – diputar atau memutar – terasa tertekan; kita berbaring bulat telanjang Sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang. Berada 2000 m. jauh dari muka laut, silang siur pelabuhan, jadi terserah pada perbandingan dengan cemara bersih hijau, kali yang bersih hijau Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di balik rupa. Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang masih mengandung kabut, dan kau lihat di sana, bahwa antara cemara bersih hijau dan kali gunung bersih hijau mengembang juga tanya dulu, tanya lama, tanya. 1948 BUAT GADIS RASID Antara daun-daun hijau padang lapang dan terang anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian burung-burung merdu hujan segar dan menyebar bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku” Dan angin tajam kering, tanah semata gersang pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi Kita terapit, cintaku – mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati Terbang mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat – the only possible non-stop flight Tidak mendapat. 1948 SELAMA BULAN MENYINARI DADANYA* Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam ranjang padang putih tiada batas sepilah panggil panggilan antara aku dan mereka yang bertolak Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan di hadapan berpuluh lorong dan gang menimbang ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas” Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam ranjang padang putih tiada batas sepilah panggil panggilan antara aku dan mereka yang bertolak Juga ibuku yang berjanji tidak meninggalkan sekoci. Lihatlah cinta jingga luntur Dan aku yang pilih tinjauan mengabur, daun daun sekitar gugur rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi pada jendela kaca tiada bayang datang mengambang Gundu, gasing, kuda kudaan, kapal kapalan di zaman kanak, Lihatlah cinta jingga luntur Kalau datang nanti topan ajaib menggulingkan gundu, memutarkan gasing memacu kuda kudaan, menghembus kapal kapalan aku sudah lebih dulu kaku. 1948 Puisi Chairil Anwar 1949 MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA di pegunungan 1943 Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah, Menatap lama ke dalam pandangnya coba memisah matanya menantang yang satu tajam dan jujur yang sebelah. Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil; dan bertanya Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah? Mirat raba urut Chairil, raba dada Dan tahulah dia kini, bisa katakan dan tunjukkan dengan pasti di mana menghidup jiwa, menghembus nyawa Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia rapatkan Dirinya pada Chairil makin sehati; hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras, menuntut tinggi tidak setapak berjarak dengan mati. 1949 BUAT NYONYA N. Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu, dan kini dia turun ke rendahan datar. Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu, Burung burung asing bermain keliling kepalanya dan buah buah hutan ganjil mencap warna pada gaun. Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu Atas puncak tinggi sendiri berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia sungguh tidak tahu Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi, Selanjutnya tidak ada burung burung asing, buah buah pandan ganjil Turun terus. Sepi. Datar lebar tidak bertepi 1949 AKU BERKISAR ANTARA MEREKA Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata mereka pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda kenyataan-kenyataan yang didapatnya. bioskop Capitol putar film Amerika, lagu-lagu baru irama mereka berdansa Kami pulang tidak kena apa-apa Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa. Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja, Sedang tahun gempita terus berkata. Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota. Ah hati mati dalam malam ada doa Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka Semoga segala sypilis dan segala kusta Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula. 1949 YANG TERAMPAS DAN YAN G PUTUS* kelam dan angin lalu mempesiang din’ku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu di Karet, di Karet daerahku sampai juga deru dingin aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku 1949 DERAI-DERAI CEMARA* cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah 1949 AKU BERADA KEMBALI* Aku berada kembali. Banyak yang asing air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain; rasa laut telah berubah dan kupunya wajah juga disinari matari lain. Hanya Kelengangan tinggal tetap saja. Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan; lebih lengang pula ketika berada antara yang mengharap dan yang melepas. Telinga kiri masih terpaling ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh. 1949 Sajak-Sajak Saduran Chairil Anwar KEPADA PEMINTA-MINTA Baik, baik aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku. Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar semua di muka Nanah meleleh dari luka Sambil berjalan kau usap juga. Bersuara tiap kau melangkah Mengerang tiap kau memandang Menetes dari suasana kau datang Sembarang kau merebah. Mengganggu dalam mimpiku Menghempas aku di bumi keras Di bibirku terasa pedas Mengaum di telingaku. Baik, baik aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku. Juni 1943 KRAWANG-BEKASI Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan berdegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi. 1948 Sumber Buku “AKU INI BINATANG JALANG, Koleksi sajak 1942-1949 Chairil Anwar”, Jakarta Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan kedua puluh lima Juni 2016.
Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api. Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai Maju Serbu Serang Terjang Chairil Anwar Februari 1943 This entry was posted on Sabtu, 29 September 2007 at 1012 am and is filed under Chairil Anwar. You can follow any responses to this entry through the RSS feed. You can leave a response, or trackback from your own site. Navigasi kiriman Previous Post Next Post »
Berikut ini adalah puisi karangan Chairil Anwar dengan judul Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api. Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai Maju Serbu Serang Terjang Karya Chairil Anwar
puisi maju karya chairil anwar